Akankah Diterapkan Pendidikan Full Day School Di Indonesia

Pengertian full day school secara umum adalah program sekolah yang menyelenggarakan proses belajar mengajar di sekolah selama sehari penuh. Umumnya sekolah yang menyelenggarakan pendidikan full day school dimulai 07.00 sampai 16.00. 
Akankah-Diterapkan-Pendidikan-Full-Day-School-Di-Indonesia
Akankah-Diterapkan-Pendidikan-Full-Day-School-Di-Indonesia


Istilah full day school berasal dari kata day school (bahasa Inggris) yang artinya hari sekolah. Pengertian hari sekolah adalah hari yang digunakan sebuah institusi untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak (atau usia sekolah). Dengan menambahkan istilah full pada day school maka pendidikan dijalankan sehari penuh mulai dari pagi hari hingga menjelang sore.
Full day school berawal pada awal sekitar tahun 1980-an di Amerika Serikat pada jenjang sekolah Taman Kanak-kanak kemudian meluas pada jenjang yang lebih tinggi sampai dengan sekolah menengah atas. Latar belakang munculnya Full Day Schooll adalah: semakin banyaknya kaum ibu yang memiliki anak berusia di bawah 6 tahun dan juga bekerja di luar rumah serta berkembangnya kemajuan di segala aspek kehidupan, maka banyak orang tua berharap nilai akademik anak-anak mereka meningkat sebagai persiapan untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya, juga dapat mengatasi masalah-masalah kemajuan zaman.

Dengan memasukkan anak-anak ke full day school, orang tua berharap anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu belajar di lingkungan sekolah dari pada di rumah dan anak-anak dapat berada kembali di rumah setelah menjelang sore untuk berkumpul dengan keluarga.
Akankah-Diterapkan-Pendidikan-Full-Day-School-Di-Indonesia
Orang banyak mengira sistem pendidikan sehari penuh atau full day school merupakan model atau sistem pendidikan baru. Padahal di Indonesia sudah ada model pendidikan seperti ini sejak lama, yaitu di pondok pesantren. Umumnya siswa pondok pesantren akan belajar sehari penuh bahkan sampai larut malam untuk mempelajari Agama Islam selain pengetahuan umum lainnya.

Di Indonesia, sekolah yang menggunakan model full day school umumnya sekolah berbasis agama atau sekolah internasional. Menurut Sismanto, pada artikel  “Awal Munculnya Sekolah Unggulan” , 2007, Full day school merupakan model sekolah umum yang memadukan sistem pengajaran Islam secara intensif yaitu dengan memberi tambahan waktu khusus untuk pendalaman keagamaan siswa. Biasanya jam tambahan tersebut dialokasikan pada jam setelah sholat Dhuhur sampai sholat Ashar, sehingga praktis sekolah model ini masuk pukul 07.00 WIB pulang pada pukul 16.00 WIB.

Full day school sebenarnya memiliki kurikulum inti yang sama dengan sekolah umumnya, namun mempunyai kurikulum lokal. Dengan demikian kondisi anak didik diharapkan lebih matang baik itu dari segi materi akademik maupun non akademik. Beberapa alasan mengapa mengapa full day school dibutuhkan:
•    Pengaruh globalisasi yang berdampak negatif terhadap perkembangan kepribadian siswa
•    Full day school adalah solusi terbaik untuk mengantisipasi terhadap dampak buruk pengaruh globalisasi saat ini
•    Memberi bekal agama yang cukup kepada peserta didik agar tidak mudah terpengaruh dengan budaya lingkungan yang tidak Islami
•    Memberikan pembelajaran, pembiasaan yang baik, pendidikan dengan pelatihan yang cukup serta memadai kepada peserta didik
•    Untuk mencapai dan memenuhi program jaminan mutu sekolah
•    Mengoptimalkan tugas guru di sekolah dalam mengajar, melatih, mendidik, membimbing, mengasihi, mengasah dan mengasuh siswa
•    Sekolah adalah sentral pembelajaran, pendidikan dan pengkaderan siswa
Namun, untuk menerapkan model full day school di Indonesia tidak mudah, banyak faktor yang mempengaruhi seperti budaya, kebiasaan, ekonomi dan sebagainya termasuk kesiapan sarana dan prasarana pendidikan.

Rencana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy yang akan menerapkan full day school atau sekolah seharian menuai kontroversi. konsep tersebut dianggap akan membebani para siswa yang harus seharian di sekolah.

Menanggapi hal tersebut, Muhadjir mengklaim jika konsep full day school tidak seperti yang dikhawatirkan masyarakat. Menurut dia, program yang akan menyasar sekolah dasar dan menengah pertama tersebut justru akan membuat para siswa senang meskipun seharian ada di sekolah.

Berikut tiga alasan Menteri Muhadjir:

1. Tidak ada mata pelajaran
Menurut Muhadjir, full day school adalah pemberian jam tambahan. Tapi dalam jam tambahan tersebut tidak ada mata pelajaran yang bisa membuat para siswa bosan. Kegiatan yang dilakukan adalah ekstrakulikuler.

Kegiatan ekstrakulikuler tersebut akan merangkum hingga 18 karakter, seperti jujur, toleransi, disiplin, hingga cinta tanah air. Dengan kegiatan tersebut, dia mengatakan para siswa bisa dijauhkan dari pergaulan yang negatif.

2. Orang tua bisa jemput anak ke sekolah
Pertimbangan lain dari program full day school adalah masalah hubungan antara orang tua dan anak. Menurut Muhadjir, untuk masyarakat yang tinggal di perkotaan, pada umumnya orang tua bekerja hingga pukul 5 sore. Dengan program tersebut, kata dia, orang tua bisa menjemput anak mereka di sekolah saat pulang kerja.

Sata ini, kata Muhadjir, siswa pulang dari sekolah pukul 1 siang, sementara orang tua baru pulang pukul 5 sore. "Antara jam 1 sampai jam 5 kita enggak tahu siapa yang bertanggung jawab pada anak, karena sekolah juga sudah melepas sementara keluarga juga belum ada," kata Muhadjir.

3. Membantu sertifikasi guru
Program full day school dianggap Muhadjir dapat membantu guru untuk mendapatkan durasi jam mengajar 24 jam per minggu sebagai syarat mendapatkan sertifikasi guru.
"Guru yang mencari tambahan jam belajar di sekolah nanti akan mendapatkan tambahan jam itu dari ini," katanya.
Untuk memberikan pendidikan karakter yang memadai kepada anak didik di sekolah-sekolah, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy melontarkan gagasan kemungkinan penerapan sistem belajar-mengajar dengan sekolah sehari penuh (Full Day School).
Kata Menteri Muhadjir, FDS ini tidak berarti peserta didik belajar seharian penuh di sekolah, tetapi memastikan bahwa peserta didik dapat mengikuti kegiatan-kegiatan penanaman pendidikan karakter, seperti mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Menurut Muhadjir, FDS dapat membendung pengaruh-pengaruh buruk yang diterima anak saat orang tua sibuk bekerja dan tak sempat mengawasi. Selama satu hari di sekolah, banyak hal yang bisa dipelajari anak-anak untuk menambah wawasan mereka.
Tapi, di luar dugaan, gagasan Menteri Muhadjir mendapat kritik tajam dari berbagai kalangan, dari orang awam hingga cendekiawan. Imam Prasodjo menyebut pernyataan Mendikbud membuat dahi mengkerut; Luthfi Assyaukanie menyebut Mendikbud blunder; Denis Maltoha (filsuf?) menyebut Mendikbud sesat pikir dan kejam (Quereta, 9/8/2016); dan masih banyak lagi kritik-kritik yang jauh lebih tajam bahkan cenderung kasar (di antaranya dalam bentuk meme). Uniknya, tidak sedikit dari para pengritik itu (disadari atau tidak) merupakan “eks anak didik” FDS.
Pada dasarnya FDS sudah diterapkan di banyak sekolah di negeri ini, baik secara tersirat maupun tersurat. Yang tersirat seperti boarding school, pesantren, pendidikan seminari, dan sekolah-sekolah kedinasan yang pada umumnya bahkan menerapkan full day and night school.
Yang tersurat seperti SMA A. Wahid Hasyim (Jombang, Jawa Timur), SMA Internasional Budi Kartini (Surabaya, Jawa Timur), SMA Tunas Luhur Paiton (Probolinggo, Jawa Timur), SMP-SMA Al-Mamoen (Cianjur, Jawa Barat), dan lain-lain.
Mencermati kritik-kritik terhadap FDS, saya teringat Imam Ghazali yang membagi manusia menjadi empat golongan (tipe). Pertama, rajulun yandri wa yadri annahu yadri (orang yang tahu dan tahu dirinya tahu). Kedua, rajulun yadri wa la yadri annahu yadri (orang yang tahu dan tidak tahu dirinya tahu).
Ketiga, rajulun la yadri wa yadri annahu la yadri (orang yang tidak tahu dan tahu bahwa dirinya tidak tahu). Keempat, rajulun la yadri wa la yadri annahu la yadri (orang yang tidak tahu dan tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu).
Dengan meminjam kategorisasi Imam Ghazali, saya ingin melihat tipe-tipe kritik yang dilontarkan publik terhadap FDS. Pertama, mereka yang tahu apa dan bagaimana FDS dan tahu plus minusnya jika FDS diterapkan. Mereka gencar mengritik FDS karena dilandasi pengetahuan yang cukup tentang pendidikan. Tapi mungkin karena perbedaan perspektif dalam melihat FDS (antara dirinya dan sang Menteri) sehingga tidak ada titik temu. Perhatikan, misalnya, komentar Imam Prasodjo berikut ini:
“Ketahuilah Pak Menteri bahwa terlalu banyak sekolah yang tak layak sebagai lingkungan belajar, atau bahkan tak layak hanya sebagai tempat sekadar berkumpul. Lihatlah kondisi SD dan SMP di banyak wilayah, apalagi daerah terpencil. Angka statistik di Kemendikbud pasti tersedia yang menunjukkan berapa banyak sekolah yang rusak, tak ada toilet, tak ada halaman bermain, atau bahkan sudah masuk kategori zona berbahaya.”
Jelas ada perspektif yang berbeda antara apa yang dipikirkan Menteri Muhadjir dan yang dipikirkan Imam Prasodjo. Aktivis Nurani Dunia ini melihat kemungkinan penerapan FDS dari sudut pandang negatif, yakni untuk sekolah-sekolah yang dari sudut pandang Menteri Muhadjir pun sebenarnya tidak mungkin akan menjadi tempat penerapan FDS.
Kedua, mereka yang pada dasarnya memahami apa dan bagaimana FDS, namun (mungkin karena alasan-alasan subjektif) mereka tidak tahu bahwa dirinya paham. Termasuk katagori ini adalah mereka yang sudah lama bergerak di dunia pendidikan (guru, dosen) dan sebagian merupakan alumni (produk) dari pesantren dan atau boardong school. Mereka menjadi kritikus terdepan seolah-olah tidak pernah merasakan manfaat dari FDS. Psikolog Yayah Khisbiyah menyebut mereka ini sebagai great pretender. Orang-orang yang sejatinya mengerti tapi penuh kepura-puraan.
Ketiga, mereka yang benar-benar tidak tahu FDS dan tahu dirinya tidak tahu. Mereka ini bisa dari kalangan awam, bisa juga dari kalangan cerdik pandai yang bukan ahli pendidikan. Prinsipnya kritik dulu, mencermati kemudian. Mengritik mungkin karena mengikuti arus, tapi karena sadar dirinya tidak tahu, maka tetap berusaha mencari tahu apa dan bagaimana FDS. Orang-orang seperti ini biasanya mau menerima penjelasan karena sadar akan ketidaktahuan dirinya. Setelah tahu, bisa berubah mendukung, bisa juga tetap mengkritik.
Keempat, mereka yang tidak tahu FDS dan tidak tahu kalau dirinya tidak tahu. Ini kelompok yang paling buruk. Mengkritik seolah-olah tahu, padahal tidak tahu. Bisa dari kalangan awam, bisa juga dari kalangan orang-orang ternama tapi bukan ahli di bidang pendidikan.
Mereka tidak tahu diri atau sok tahu. Atau bisa juga waton suloyo (asal mencela) untuk sekadar mencari popularitas. Termasuk dalam tipe ini adalah kalangan artis yang tiba-tiba jadi pengamat pendidikan dengan kritik-kritiknya yang tajam seperti Deddy Corbuzier, Sophia Latjuba, Rossa, Tyas Mirasih, dan Julia Perez.
“Gagasan program Full Day School belum tepat diterapkan di Indonesia karena memang secara filosofis dan praktis, gagasan tersebut bermasalah,” kata Anamg Hermansyah.
“Dunia pendidikan kita ini jangan dijadikan kelinci percobaan. Ini bukan waktunya untuk menjadi kelinci percobaan, dan siswa-siswa kita juga bukan kelinci percobaan,” kata Fadli Zon.
Jika anggota Komisi X DPR RI dan Wakil Ketua DPR RI ini mau memahami penjelasan Mendikbud, keduanya bisa masuk kritikus tipe ketiga, tapi jika tidak mau tahu, mungkin termasuk tipe keempat. Wallahu’alam!
Yang menarik, di luar kritik-kritik keras yang berkembang di media dan (terutama) media sosial, FDS justru mendapat apresiasi dan dukungan dari para pendidik kenamaan seperti Arif Rachman, Rhenald Kasali, dan Komaruddin Hidayat.

Terima Kasih Anda sudah membaca http://ogibicara.blogspot.co.id Akankah Diterapkan Pendidikan Full Day School Di Indonesia