Nilai-Nilai Pendidikan dalam Pesan-Pesan Orang Bugis Dahulu

Nilai-Nilai Pendidikan dalam Pesan-Pesan Orang Bugis Dahulu
Nilai-Nilai Pendidikan dalam Pesan-Pesan Orang Bugis Dahulu

 Bugis sebagai salah satu lokalitas yang membangun kebhinnekaan budaya Indonesia juga memiliki seperangkat local genious yang dipraktekkan dalam kehidupan kultural mereka. Dalam local genious Bugis tersebut dapat pula ditarik beberapa prinsip dasar tentang kehidupan manusia Bugis (Moein, 1990).
Kekayaan kearifan lokal Bugis, dapat diperoleh dalam berbagai karya sastra Bugis klasik yang memuat beragam kearifan dan ternyata masih relevan dengan kehidupan sekarang ini. Beberapa sumber kearifan lokal tersebut adalah Sure Galigo, Lontara, Paseng, dan Elong.
Pada dasarnya masyarakat Bugis dibina moral dan karakternya melalui paseng yang merupakan pola dasar pegangan hidup. Untuk itu diperlukan penguraian yang lebih mendalam. Berikut ini akan saya uraikan beberapa Paseng yang mengandung nilai pendidikan:

1.      Tangngai gaukmu naiya muala anre guru. Mualai madécéngé mutettangi majake. Apa iya adaé sionrommui jakna sibawa decenna, makua mutoro nawa-nawaé.

Terjemahan : “Amatilah perbuatanmu dan jadikan sebagai guru (guru dimaksudkan disisni sebagai pedoman dalam bertindak), petiklah yang baik dan tinggalkan yang buruk. Sebab perkataan itu tempatnya keburukan dan kebaikan demikian pula pemikiran”.
Penjelasan: guru yang paling baik adalah pengalaman dari hasil perbuatan. Dari hasil perbuatan itu kita mendapatkan pengalaman belajar dimana kita akan memilih yang baik dan meninggalkan yang buruk. Perkataan seseorang menunjukkan hasil dari belajarnya atau pendidikannya.

2.      Tanra-tanranna narekko maelokni kiame linoé gilinni bébé tau maccaé Terjemahan ; “Tanda-tanda kalau dunia akan kiamat, berbalik menjadi bodoh orang yang pintar.

 Penjelasan : selama orang pandai memanfaatkan kepandaiannya untuk kebaikan, selama itu ia tidak merusak. Akan tetapi bila kepandaiannya disalah gunakan, maka berubalah ia menjadi bodoh. Karena ia tidak tahu lagi bagaimana memanfaatkan kepandaiannya sehingga ia menghancurkan masyarakat dan kehidupan manusia. Jika terjadi hal demikian mungkin dunia belum kiamat betul tetapi dunia kemanusiaan sudah kiamat. Sebagian lagi cendekiawan yang masih sadar terpaksa bersama orang yang bodoh karena kebenaran yang dianut dari ilmunya tidak lagi mendapat tempat dan penghargaan dari masyarakat.

3.      Sipakmi paompoki assalengngé

Terjemahan : “Wataklah yang menunjukkan asal usul”.
Penjelasan : jika kita bergaul dengan orang yang berkelakuan tercela, akan timbul anggapan bahwa orang tersebut adalah keturunan yang tidak baik pula, meskipun hal itu hanya dugaan. Dugaan itu karena pertimbangan bahwa orang baik akan mendidik anaknya secara baik pula. Tetapi apabila ada anak yang yang berkelakuan tercela tetapi orang tuanya baik itu berarti bahwa orang tuanya telah gagal menjadi pendidik yang baik bagi anaknya.
Pendidikan mulai dari rumah atau keluarga, dan kesalahan utama dari orang tua yang gagal sebagai pendidik dikarenakan terlalu mencintai anaknya sehingga mereka memberikan kesenangan terhadap anak tersebut bukan ilmu. Yang dimaksudkan asal usul disini adalah yang menyangkut watak seseorang. Bukan menyangkut kedudukan sosial. Karena orang yang paling miskin bukanlah orang yang tidak memiliki harta tetapi yang miskin pendidikan dan budi pekerti.

4.      Padai manu déé léranna

Terjemahan : “Seperti ayam tanpa teratak”.
Penjelasan : paseng ini diumpamakan bagi orang yang tidak memiliki tujuan hidup. Atau orang yang tidak mengetahui bahwa yang terpenting di dunia ini bukan kerja di mana kita berdiri,akan tetapi ke arah mana kita akan pergi (tujuan hidup). Untuk itu agar kita tidak tersesat kelak kita harus terdidik dan memiliki tujuan hidup karena orang yang tidak terdidik dan memiliki tujuan hidup akan disesatkan oleh zaman.

5.      Tessirebbang tangnga, tessiwelaiyang janci

Terjemahan: “Tidak ada batas membatasi pertimbangan, tidak ingkar janji”. Penjelasan : didalam kehidupan bermasyarakat, agar hubungan dengan pihak lain terjalin erat dan mencapai kerjasama yang tinggi, diperlukan pertimbangan-pertimbangan bersama guna saling mengisi kekurangan masing-masing dan kerjasama lebih kuat bila masing-masing menepati janji.
Paseng ini mendidik manusia untuk saling berbagi pendapat dan ilmu.  Mutiara bertambah indah karena diuntai menjadi perhiasan, seindah hidup bila dijalin dengan pengertian dan kerjasama yang baik.
Dari beberapa contoh paseng yang saya uraiakan diatas, saya berharap kita bisa kembali mengingat kearifan lokal budaya kita karena sebenarnya nenek moyang kita dahulu kala telah banyak meninggalkan pelajaran yang sangat penting dan berharga dalam berkehidupan dan bermasyarakat. Ajaran mereka murni dan tanpa terpengaruh budaya-budaya modernisasi yang kadang menyesatkan bagi kehidupan masyarakat.
Untuk itu, sudah selayaknyalah kita melihat ke belakang dalam artian kembali melirik kearifan lokal budaya kita untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi saat ini utamanya dalam kehidupan sosial masyarakat, seperti korupsi, perselisihan dalam masyarakat, dan lain lain. Kembali kita mengingat pesan-pesan nenek moyang kita dahulu. Jangan hanya sekedar dipelajari di bangku sekolahan tapi juga diterapkan dalam bermasyarakat agar kehidupan bermasyarakat bisa terjalin aman, tentram dan damai.
Terima Kasih Anda sudah membaca http://ogibicara.blogspot.co.id Nilai-Nilai Pendidikan dalam Pesan-Pesan Orang Bugis Dahulu