Kerajaan-Belawa-Sejarah-Sebuah-Negeri-Di-Pesisir-Danau-Tempe-Wajo BAG II

Kerajaan-Belawa-Sejarah-Sebuah-Negeri-Di-Pesisir-Danau-Tempe-Wajo II
Kerajaan-Belawa-Sejarah-Sebuah-Negeri-Di-Pesisir-Danau-Tempe-Wajo
Kerajaan-Belawa-Sejarah-Sebuah-Negeri-Di-Pesisir-Danau-Tempe-Wajo


II. Menegakkan PessE


Setahun setelah penaklukan Sidenreng, Pajung Luwu bertikai lagi dengan La Tenri Sukki Mangkau' ri Bone V. Konflik itu bermula ketika Luwu mengklaim negeri Cenrana yang selama ini dibawah daulat pemerintahan Kerajaan Bone sebagai wilayah kekuasaan Luwu. Dapat dikemukakan bahwa setelah PajungngE memaklumatkan perang pada Tana Bone, maka baginda mengutus To Ciung Tongeng MaccaE sebagai Bila-bila Musuu' ke Tana Wajo untuk mengajak Arung MatoaE menyerbu Tana Bone. Namun La Tadampare' enggan menyertai PajungngE karena peristiwa pembakaran Sao Locci'E di Sidenreng masih membuatnya jengkel.

Maka lasykar Luwu menyerbu Tana Bone dibawah pimpinan PajungngE sendiri.  Mereka berhasil menduduki Cenrana pada hari itu juga. Setelah semalam di negeri penyebab pertikaian itu, mereka bersiap-siap melanjutkan penyerbuan ke Watampone melalui daerah Cellu' melewati jalur sungai dengan perahu. Namun ditengah perjalanan, serombongan lasykar wanita kerajaan Bone menyerang iring-iringan pasukan itu dengan panah dari seberang sungai Cenrana. Melihat hal tersebut, maka tampa koordinasi yang matang, pasukan Luwu mengejar para wanita itu yang lari berserabutan ke segala arah. Rupanya inilah yang ditunggu pasukan Bone, melihat pasukan Luwu berlarian mengejar dengan kacau balau, maka mereka serentak menyerbu dengan dahsyatnya. Orang-orang Luwu yang tidak menyangka serangan balik yang mengejutkan itu menjadi kocar kacir, berlarian menyelamatkan diri menuju perahunya yang ditambatkan di pinggir sungai. Termasuk dalam hal ini PajungngE sendiri.

Dikisahkan dalam Lontara Sukkuna Wajo (LSW) baginda yang gemuk itu berlari ke pinggir sungai, tetapi dihadang dan disergap oleh lasykar Bone. PajungngE tidak  berdaya ketika prajurit penyergap itu bersiap-siap mengayunkan kelewangnya ke leher baginda. Namun tiba-tiba Mangkau'E segera tiba di tempat itu dan mencegah pembunuhan pada PajungngE. Bahkan baginda melepas PajungngE beserta sisa-sisa pasukannya yang masih hidup untuk kembali ke Tana Luwu dengan penuh kehormatan. Sebagai tanda kemenangan perang, Mangkau'E menyita Payung kebesaran Tana Luwu yang dibawa serta pada penyerbuan yang gagal itu. Maka sebagai peringatan yang menandai kemenangan heroik  atas Luwu, baginda Mangkau'E diberi tambahan gelar, yaitu : La Tenri Sukki MAPPAJUNGNGE.


Adapun halnya dengan Arung Matoa Wajo, mendengar kekalahan Luwu di Tana Bone maka segera dikumpulkannya Arung PatappuloE untuk mendiskusikan perihal penentuan sikap  Tana Wajo terhadap peristiwa kekalahan Luwu tersebut. Dapat dimaklumi, bahwa baginda La Tadampare' Puang ri Maggalatung berada pada suasana dilematis dalam hal menyikapi peristiwa tersebut. Sebagai sekutu Luwu yang telah mengikrarkan LamumpatuE ri Topacceddo' maka budi ksatrianya menghendaki beliau untuk menuntut balas pada Tana Bone. Namun disisi lain, sebenarnya La Tadampare' merupakan seorang " Pangeran Bone " dari garis keturunan ibunya. La Tenri Ampa Arung Palakka adalah adik ibunya. Maka Ade' Assamaturuseng Arung PatappuloE yang merupakan hukum tertinggi di Tanah Wajo memutuskan bahwa menunaikan kewajiban persekutuan LamumpatuE ri Topacceddo' adalah hal yang tidak bisa ditawar. Menegakkan PessE (solidaritas kemanusiaan) terhadap martabat perjanjian dengan Luwu terpaksa harus ditunaikan melalui penyerbuan ke Bone, kerabat dekat Sang Arung Matoa sendiri !

Maka pasukan Wajo menyerbu Bone dan menduduki Cenrana selama beberapa hari. Setelah itu, mereka kembali ke Wajo tampa meneruskan penyerbuannya ke Kotaraja Tanah Bone, yakni : WatamponE. Agaknya baginda La Tenri Sukki MappajungngE sebagai raja besar yang arif dapat memahami bagaimana posisi La Tadampare' Puang ri Maggalatung selaku sekutu Tana Luwu. Beberapa hari setelah peristiwa penyerbuan La Tadampare' ke Cenrana, baginda Mangkau'E mengadakan kunjungan ke  PajungngE di Luwu. Baginda mengembalikan Payung Kebesaran Luwu yang dirampasya dulu. Namun, PajungngE menyambutnya dengan bijak, seraya berkata : "talani lE' pajungngE, tapammanari ana' eppota.. engkamopa laingngE pajung monro ri Tana Luwu...".

 



III. Musu Aselengeng


Pada awal abad XVII, yakni sekitar tahun 1600 M Sulawesi Selatan dikunjungi oleh ulama-ulama besar yang merupakan muballiq-mubaliq pengemban syiar risalah Islam dari Minangkabau (Sumatera Barat). Mereka terdiri dari 3 orang, yakni :
1. Abdul Makmur Khatib Tunggal yang bergelar Datok ri Bandang
2. Sulaiman Datok Sulung yang digelari Datok Patimang
3. Abdul Jawad Maulah Khatib Bungsu bergelar Datok Tiro

Ketiga muballiq tersebut tiba di Pelabuhan Makassar yang merupakan bandar besar kerajaan  kembar Gowa - Tallo (baca : Makassar) yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari seluruh dunia pada waktu itu. Mereka tinggal bersama, berbaur dengan para pedagang melayu di luar tembok Kerajaan Tallo dan memulai menjalankan aktivitasnya sebagai penyebar agama Islam.  Namun karakteristik budaya masyarakat setempat (suku Makassar) terasa sulit untuk menerima pengaruh yang datangnya dari luar komunitas mereka. Bahkan dari informasi yang mereka dapatkan dari masyarakat Gowa disekitarnya, bahwa beberapa tahun sebelumnya Babuullah Sultan TernatE dari Kepulauan Maluku mengajak Somba Gowa (Tunijallo) untuk masuk Islam, namun ditolak oleh Sombayya sendiri.


Adalah suatu karakter unik bagi masyarakat Bugis-Makassar (Sulawesi Selatan pada umumnya) bahwa implementasi Siri PessE yang merupakan inti paling luhur pada segala nilai perilaku adat dan budayanya, senantiasa menghendaki kepemimpinan dari kalangan mereka sendiri. Sebagai contah : seseorang yang dinasehati atau ditegur (iyampareng) oleh "orang lain" (tania Tomasirina / rEppE'na), maka hal itu dianggap sebagai : pelanggaran Siri'. Makanya itulah sehingga alur sejarah penyebaran Islam di Sulawesi Selatan sangat berbeda atau bahkan kontradiksi dengan daerah lainnya di Indonesia. Sebagai perbandingan, penyiaran Agama Islam di Jawa berawal pada rakyat jelata lalu berkembang sampai pada Raja dan kerabatnya. Sebaliknya di Sulawesi Selatan, risalah Islam selamanya dimulai pada Raja beserta perangkat-perangkatnya kemudian memerintahkan kepada rakyatnya untuk mengikuti anutan tersebut. 


Menyadari situasi dan kondisi tersebut, maka ketiga Datuk Mubalig itu menyusun kembali strategi yang disesuaikan dengan penalaran mereka tentang realitas politik di Sulawesi Selatan pada zaman itu, yakni : Raja yang paling berkuasa adalah Sombayya Gowa dan Raja yang paling dimuliakan adalah PajungngE ri Luwu yang dianggap sebagai Negeri asal segenap bangsawan di Sulawesi.


Berbekal strategi itulah, maka ketiga Datuk itu berangkat ke Luwu dan langsung menemui La Tandipau Opunna Ware' Maddika Ponrang yang terlebih dahulu masuk Islam dengan gelar : AssellengengngE . Kemudian Maddika Ponrang yang mengantar ketiga Datuk tersebut menghadap PajungngE yang pada masa itu dijabat oleh : La Patiware Sangaji Pati Arase' Daeng Parambong Pajung ri Luwu XIII. Mereka mengadakan dialog yang cukup lama perihal seluk beluk Agama Islam. Bahkan baginda PajungngE menerapkan beberapa macam ujian yang sangat sulit untuk membuktikan kebenaran Islam. Akhirnya PajungngE bersama rakyatnya mengucapkan Dua Kalimah syahadat tnggal 15 Ramadlan 1013 Hijriah (1603 M) dan baginda selaku Raja Islam diberi tambahan gelar, yakni : Sultan Muhammad Mudharuddin serta ditambah lagi sebagai Petta MatinroE ri Pattimang setelah wafatnya.


Setelah sukses menegakkan syiarnya di Luwu, maka dalam waktu tidak terlalu lama Sombayya Gowa bernama I Mangngurangi Daeng Mangrabia Somba ri Gowa XVI (gelar : Sultan Alauddin) dan KaraEng Tallo  I Malingkaan Daeng Manyonri (gekar : Sultan Abdullah Awwalul Islam) bersama segenap kerabat istana Gowa-Tallo mengucapkan Syahadat pada hari Jum'at, 9 Jumadil Awal 1015 Hijriah (22 September 1605 M). Maka terpenuhilah langkah-langkah strategi sebagaimana direncanakan sebelumnya. Gowa sebagai kerajaan paling kuat, dijadikan sebagai pusat penyebaran syiar Islam ke kawasan Kerajaan TellumpoccoE (Bone, Wajo dan Soppeng) dibawah pimpinan Sultan Alauddin Somba Gowa sendiri.

Tidak seperti halnya dengan jalannya misi ke Luwu dan Gowa, maka penyebaran Islam pada ketiga Negeri Bugis terbesar tersebut mendapatkan tantangan berat. Dapat dimaklumi bahwa penyebab penolakan tersebut, adalah karena urusan syiar Islam ini melibatkan Sombayya Gowa sendiri secara langsung. Dengan demikian, ketiga kerajaan tersebut beranggapan bahwa menerima Islam berarti takluk terhadap kekuasaan Gowa yang pada waktu itu kerapkali mengadakan invasi.

Lain halnya dengan Kerajaan Bone, La Tenri Ruwa Arung Palakka Mangkau ri Bone XI dapat melihat kebenaran Islam sebagai agama yang benar serta mengucapkan Kalimah Syahadat dengan penuh keikhlasan dengan gelar  Sultan Adam . Namun rakyat Bone melalui Ade' PituE menolak dengan memberi opsi pada Mangkau'E, : " tEgae tapilE, Akkarungetta iyarE'ga Teppe'ta ? " (yang mana anda pilih, Tahta atau Agama ?). Maka dengan tanpa keraguan sedikitpun baginda memilih agamanya, lalu bersama dengan kerabat dekatnya mereka meninggalkan Tana Bone menuju BantaEng dan menetap di negeri itu sampai wafat nya sehingga digelari : Petta MatinroE ri BantaEng.


Adapun halnya dengan La Sangkuru Patau MulajajiE Arung Matoa Wajo, BEoE Datu Soppeng serta La Tenri Pale' Mangkau ri Bone XII (pengganti La Tenri Ruwa) bersiap-siap menyambut serbuan bala tentara kerajaan Gowa sebagai akibat penolakan mereka terhadap ajakan Somba Gowa.

Maka penyerbuan itu benar-benar dilaksanakan oleh kerajaan Gowa. Peperangan ini disebut dalam Lontara, sebagai : Musu Aselengeng. Sebagai langkah awal, pasukan Gowa terlebih dahulu menyerbu kerajaan-kerajaan kecil disekitar ketiga kerajaan persekutuan itu. Namun banyak dari kerajaan-kerajaan itu menerima Islam dengan damai, sehingga tidak terjadi peperangan. Bahkan lebih jauh lagi mereka bergabung pada ekspedisi yang dipimpin langsung Raja Gowa sehingga pasukan itu terhimpun menjadi pasukan yang amat besar.


Pasukan ekspedisi itu akhirnya tiba di Sawitto. Addatuang Sawitto ke-IX bernama I Tenri SullE Daeng BulEang menerima baik Sombayya Gowa dan secara tulus ikhlas menerima Agama Islam pada tahun 1017 Hijriah (1607 M). Di daerah Sawitto, Sultan Alauddin mengatur strategi ekspedisi lebih lanjut ke negeri lainnya. Akhirnya pasukan aliansi Gowa bertemu dengan pasukan TellumpoccoE di Kampung Pakkennya. Terjadilah pertempuran besar yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa pada kedua belah pihak. Setelah bertempur selama beberapa hari, pasukan Gowa mulai terdesak. Pasukan TellumpoccoE menyerang semakin gencar, sehingga orang-orang Gowa beserta sekutunya berusaha meloloskan diri sambil membawa Sombayya untuk tiba dengan selamat di Gowa.


Tiga bulan setelah penyerbuan yang gagal itu, Sultan Alauddin menyusun kekuatan kembali. Baginda mendaratkan pasukannya di AkkotEngeng (wilayah Wajo) dan mendapatkan sambutan baik. Arung AkkotEngeng menerima Islam dan memihak Sombayya Gowa, menyusul Arung Akkajeng, Arung PadaElo, Arung KEra dan Arung Sakkoli. Sejak itulah sehingga kerabat ke-5 Kerajaan bawahan Wajo tersebut menggelari bangsawannya sebagai : Petta KaraEngngE sebagai penghargaan atas budi baiknya terhadap sombayya Gowa.


Mengetahui kejadian tersebut, Arung Matoa Wajo mengirim utusan untuk menegur negeri-negeri bawahannya yang dipandang melakukan penghianatan sambil mengingatkan ikrar yang sejak dulu dibina sejak Arung Matoa La Tadampare' Puang ri Maggalatung. Namun mereka menjawab, : " dEwata sEuwwaEna passarangngi', nasaba' engka akkacoEreng mannessa tongeng, napputEa Wajo maccoEri...". 

Semalam setelah utusan Wajo tiba dari Sakkoli, pasukan gabungan TellumpoccoE menyerbu pasukan Gowa di AkkotEngeng. Terjadilah pertempuran sengit, namun kembali pasukan Gowa terpukul telak. Sultan Alauddin nyaris tertangkap andai tidak mendapat bantuan dari La Wawoi Arung Gilireng bersama pasukannya meloloskan baginda beserta sebagian pasukannya yang masih hidup kembali ke Gowa.

I Manggurangi Daeng Mangrabia Sultan Alauddin adalah benar-benar sosok seorang Raja yang amat keras hati dan pantang menyerah terhadap apapun yang menghambat segala yang telah direncanakannya. Enam bulan berlalu setelah kekalahannya di Wajo, baginda  kembali menyusun penyerangan dan mendaratkan pasukannya di daerah Para'-Para' (Parepare). Pendaratan itu diketahui oleh TellumpoccoE dan segera mencegatnya di lereng Bulu SituppuE (daerah sekitar Amparita). Maka terjadilah pertempuran yang dahsyat mengakibatkan gugurnya pimpinan pasukan Soppeng, diantaranya adalah : La Tijawa Arung Bila. Pasukan TellumpoccoE terpukul mundur sampai di Lalempulu (wilayah Sidenreng).  Melihat pasukan lawannya mundur meninggalkan medang perang, maka Sultan Alauddin segera membangun pertahanan di daerah itu sambil mengkolidasi kembali pasukannya.


Tersebutlah tiga raja bersaudara, yakni : La Patiroi Addatuang Sidenreng VI, La MakkeppEang To Aggiling Arung Belawa Timoreng dan La Wawoi Arung Gilireng. Mengetahui bahwa Sultan Alauddin Somba Gowa sedang membuat basis pertahanan di Amparita, maka mereka berkumpul di Allakuang (Allekkuang) yang merupakan Kotaraja Sidenreng pada masa itu. Perlu dikemukakan bahwa ketika Sultan Alauddin berada di AkkotEngeng pada masa penyerangan yang lalu, La Wawoi Arung Gilireng merupakan salahsatu raja yang tertarik dengan ajaran Islam yang dibawa Sombayya. Disebabkan karena itulah sehingga baginda tidak dapat berdiam diri ketika mengetahui Sombayya sedang terkepung oleh pasukan TellumpoccoE maka segera menerjungkan diri dikancah pertempuran dengan pasukan pemberaninya untuk menyelamatkan Sultan Alauddin. Walaupun itu berarti merupakan sebuah penghianatan atas ikrar penyatuan Gilireng sebagai Lili (taklukan) Wajo dimasa La Tadampare' Puang ri Maggalatung.


Akhirnya Sultan Alauddin berkunjung ke Saoraja Allakuang, disambut dengan penuh hormat oleh sekumpulan Raja-raja yang menunggu baginda, yakni : Addatuang Sidenreng (selaku tuan rumah). Arung Belawa, Arung Gilireng, Arung Rappeng, Arung Maiwa, Arung Bulu Cenrana dan Arung Utting. Pada saat itulah ketiga raja bersaudara dan raja-raja lainnya mengucapkan Dua Kalimahsyahadat bertepatan pada tahun 1018 Hijriah (1608 M).


Untuk melengkapi uraian ini, maka inilah silsilah ketiga raja yang masuk Islam tersebut, sebagai berikut : La Pakallongi Arung Rappeng siala We PalEtEangngE Addatuang Sawitto II, najajiangngi dua Ana', iyanaritu : We Da Balla' sibawa La Cella' Mata. We Da Balla' ipawawowinEi ri La Pateddungi Addaowang Addatuang Sidenreng V, najajiang tellu Ana', iyanaritu : La patiroi Addatuang Sidenreng VI Petta MatinroE ri Allakuang, La MakkeppEang Toaggiling Arung Belawa Timoreng sibawa La Wawoi Arung Gilireng.


Atas usul La Patiroi Addatuang Sidenreng, maka Sombayya membangun benteng pertahanan di Rappeng. Berselang beberapa lama setelah itu, Pasukan TellumpoccoE menyerang dengan kekuatan pasukan gabungan yang membanjir melanda Benteng pertahanan di Rappeng. Namun aliansi pasukan Islam dibawah pimpinan Sultan Alauddin lebih siap dengan strategi pertahanan yang lebih terkoordinasi. Maka pasukan penyerang dapat dipukul mundur kembali ke negerinya masing-masing.


Dua bulan setelah penyerangan itu, pasukan Gowa beserta segenap sekutunya menyerbu pusat pertahanan pasukan Soppeng di Tanete (Mario riawa). Kali ini, Pasukan Soppeng tidak mendapat bantuan dari Pasukan Wajo dan Bone karena mereka sibuk mengatur basis pertahanannya masing-masing. Kekuatan Pasukan TellumpoccoE kini telah pecah. Maka dalam waktu kurang lebih 1 bulan, negeri-negeri bawahan Soppeng  satu demi satu ditaklukkan. Akhirnya melalui pertempuran habis-habisan yang menelan banyak korban jiwa pada kedua belah pihak, Negeri Soppeng terpaksa harus menyatakan kalah perang pada Gowa dan sekutunya. Datu Soppeng BEoE menerima agama Islam dan mengucapkan kalimah syahadat pada tanggal 15 Syawal 1019 Hijriah (1609 M).


Setelah kerajaan Soppeng jatuh, maka satu bulan kemudian  Tana Wajo pun diserang  pasukan Gowa dengan kekuatan yang lebih besar daripada penyerbuan Soppeng. Hal itu disebabkan karena kali ini Pasukan Soppeng dipaksa untuk menyertai aliansi Gowa. Melalui pertempuran sengit dibawah pimpinan Arung Matoa sendiri, maka pertahanan Wajo bobol. Akhirnya La Sangkuru Patau MulajajiE bersama segenap rakyat Tana Wajo menyatakan takluk dan mengucapkan kalimahsyahadat pada tanggal 15 Syafar 1019 Hijriah (6 Mei 1610 M) dengan tambahan tambahan gelar Islam Sultan Abdul Rahman  serta Petta MatinroE ri Allepperenna ketika wafatnya.


Demikianlah, setelah kedua sekutunya telah dikalahkan, maka giliran Tana Bone diserang oleh aliansi Gowa beserta segenap pasukan kerajaan yang dikalahkannya. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, akhirnya Tana Bone sebagai pertahanan terakhir TellumpoccoE terpaksa menyatakan takluk. La TenripalE' Mangkau' ri Bone beserta rakyatnya mengikrarkan Kalimahsyahadat pada tanggal 20 Ramadhan 1020 Hijriah (22 Nopember 1611 M).
Terima Kasih Anda sudah membaca http://ogibicara.blogspot.co.id Kerajaan-Belawa-Sejarah-Sebuah-Negeri-Di-Pesisir-Danau-Tempe-Wajo BAG II