Kerajaan-Belawa-Sejarah-Sebuah-Negeri-Di-Pesisir-Danau-Tempe-Wajo BAG. VII

Kerajaan-Belawa-Sejarah-Sebuah-Negeri-Di-Pesisir-Danau-Tempe-Wajo BAG. VII
Kerajaan-Belawa-Sejarah-Sebuah-Negeri-Di-Pesisir-Danau-Tempe-Wajo BAG. VII
Kerajaan-Belawa-Sejarah-Sebuah-Negeri-Di-Pesisir-Danau-Tempe-Wajo BAG. VII
Sejarah Belawa Part. 9
Belawa, memasuki Awal Abad XX (bag. 1)
Mengetahui jika junjungan yang dihormati dan disayangnya bagai puterinya sendiri telah wafat di Negeri pengasingannya, Petta Pangulu amat berduka. Dikisahkan oleh NEnE Rukka bahwa pada suatu hari, beliau keluar dari biliknya dan langsung menuju ke sungai. Panglima tua yang semakin uzur itu mandi cukup lama lalu naik kembali ke Saoraja sambil membawa sebongkah batu sungai berwarna coklat kelabu yang berukuran agak panjang (panjang kira-kira 50cm dan berdiameter kira-kira 20 cm). Beliau meletakkannya bersandar pada dinding "jajareng" (dinding tengah) seraya berkata, : "Akko matEka' baja sangadiE, iyEna matu mEsaku.." (sekiranya esok atau lusa aku meninggal dunia, maka inilah batu nisanku..).

Maka berlakulah ketentuan Allah Azza Wajallaa. Tidak lama setelah peristiwa itu, Petta Pangulu wafat dalam tahun 1917. Menurut kesaksian sepupu ayahanda penulis bernama I BeccE' Pamuri  (umur 85 th) pada tahun 2005 di TippuluE, bahwa : " Baiccu'mopa na lElE ri pammasENa Petta Pangulu. NaEkia manessa paringerrangku Ero wettuE, MONI SIBELAWA ballili'E ri wettu riulEE bare' Petta Pangulu lao ri Jara'E.." (Aku masih kecil ketika Petta Pangulu wafat. Namun masih jelas dalam ingatanku bahwa waktu itu ketika Jenazah Petta Pangulu diusung menuju pemakaman, seluruh senapan di Belawa ditembakkan keudara, gegap gempita mengiring keberangkatannya...). Sesuai wasiatnya, makam beliau ditandai dengan sebongkah batu sungai berukuran kecil diatas pusaranya. Menurut NEnE Rukka, maksud beliau tersebut agar para pengagumnya tidak  mengkultuskan makamnya. Begitulah akhir seorang legendaris pada jamannya yang merupakan Panglima terakhir kerajaan Belawa.

Adapun halnya dengan Saoraja Bakkaa'E sepeninggal Petta Pangulu, konon Saoraja tersebut "dijual" pada seorang bangsawan yang berdiam di Bilokka (Sidenreng). Tidak ada yang tahu persis, siapa  diantara anaknya yang menjual dan mengapa situs peninggalan La Paranrengi Daeng Sijerra tersebut diperjualbelikan. Bahkan bekas-bekas berdirinya komplek Saoraja itu menurut ayahanda penulis, terletak dipinggir sungai KarajaE sebelah barat, persis dimulut jembatan SappaE sekarang ini.  Kira-kira 5 meter sebelah selatan jembatan tersebut, terdapatlah  sebuah "Limpungeng" (kedung atau bahagian sungai yang dalam) dimana senapan, amunisi dan peluru para Lasykar Belawa dibuang (ditenggelamkan) atas perintah Arung Belawa.

Selama hidupnya, Petta Pangulu memiliki 2 orang isteri sah dan beberapa gundik yang kesemuanya itu melahirhan beberapa putera dan puteri. Kedua isteri sah beliau adalah puteri La Mude' SullEwatang Laomapada dengan I RawE (kerabat Bettempola) yang masing-masing bernama : I Tuwo dan I Bada'. Dari I Tuwo, beliau mendapatkan keturunan masing-masing bernama : I Munta Daeng Mattappa, (wafat di Jambi), I Patinrosi ArungngE Daeng Sagala dan La Massi' Daeng Pagiling. Setelah I Tuwo meninggal dunia, maka atas ininsiatif Arung Belawa (Datu Tenri Kawareng) maka beliau diperjodohkan dengan adik I Tuwo (ipasitola angkalungeng) bernama ; I Bada'. Dari isteri kedua inilah maka lahirlah : La Makkarumpa' (wafat di Jambi). Sementara dari beberapa gundiknya juga mendapatkan keturunan yang tidak dapat diuraikan pada kolom ini.


Setelah lowong beberapa tahun lamanya, maka dinobatkanlah kemenakan Arung Belawa terdahulu bernama : La Onro Arung Belawa (putera I Panangngareng Datu Madello dengan La MappangilE Addatuang Sidenreng). I Panangngareng Datu Madello adalah adik kandung I Tenri Kawareng Arung Belawa MallinrungngE ri Pompanua. Arung Belawa ini masih berumur remaja ketika dilantik menjadi Arung Belawa. Menurut beberapa sumber yang penulis dapatkan, antara lain : La Maccaning (Wa Caning Alm.) bahwa masa pemerintahan baginda yang berumur amat muda ini menjadikan Belawa menjadi aman tenteram.  Salahsatu gebrakan awal baginda adalah dengan memprakarsai pembangunan Mesjid Raya  yang kini dikenal sebagai Mesjid Darussalam yang terkenal itu. Talenta kepemimpinan Datu La Onro berkat wawasannya yang luas terhadap kondisi Sulawesi Selatan pada masa itu yang didapatkan dari didikan orang tuanya. Perlu dikemukakan disini, bahwa La MappangilE Addatuang Sidenreng (ayahanda Datu La Onro) adalah putera La ParEnrEngi KaraEng TinggimaE seorang Pangeran Tana Gowa yang dapat dikatakan sebagai "Arung Ajattappareng". KaraEng TinggimaE' pun sesungguhnya adalah Pangeran Tana Wajo karena beliau adalah putera Ishak Manggabarani KaraEng MangEppE' Petta MatinroE ri Cappa' Galung Arung Matoa Wajo ke-XLIII dari permaisurinya bernama : I Dala WEttoing KaraEng KanjEnnE'.

Tersebutlah pada masa yang sama, bertahtalah La Patongai (bergelar Datu Bolong) di Doping. Daerah yang merupakan kawasan Tana Wajo yang dulunya bernama PEnrang. Tahta itu adalah merupakan warisan Baginda dari Nenekdanya yang bernama : Sompa ri Timo MajjampaE Petta PabbatE PEnrang. Baginda tinggal di Doping bersama isterinya bernama :  I Bossa setelah isteri Baginda yang terdahulu bernama : Bau' Mapparimeng Datu Madello wafat beberapa tahun sebelumnya. Selain itu, baginda ditemani oleh kakandanya dari lain ibu bernama : I Batari Petta Lonra (juga puteri La TEngko Petta Manciji'E ri Wajo dengan I REwo Ana'na Arung Batu). Namun setelah beberapa tahun menetap dan memerintah di Doping, terjadilah "perselisihan" dengan Dewan Petta EnnengngE disebabkan sesuatu hal yang tidak dapat diuraikan pada tulisan ini. Akibatnya, Baginda meninggalkan Doping bersama isteri, anak, kakak dan segenap sahayanya menuju ke Belawa dimana kemenakannya (Datu La Onro) sedang bertahta di Belawa.

Sebagaimana yang telah dikemukakan pada bab terdahulu, bahwa Datu La Onro Arung Belawa adalah putera I Panangngareng Datu Madello, saudara kandung Datu Bolong. Mengetahui pamandanya tinggal menetap di Belawa dan sedang membangun Saoraja di JampuE, Datu La Onro Arung Belawa melantik (napasalEppangi) "bibinya" yakni : I Bossa selaku SullEwatang Belawa Orai'. Namun tidak beberapa lama kemudian disebabkan suatu hal, Datu La Onro Arung Belawa pergi meninggalkan Belawa dan menetap di Sidenreng, negeri kekuasaan ayahandanya.

Setelah kepergian Datu La Onro, maka dinobatkanlah La Patongai Datu Doping menjadi Arung Belawa. yang merupakan Arung Belawa terakhir karena setelahnya, tidak ada lagi Arung Belawa yang dilantik (IpakkalEjja' ri Tuppu Batu Tana Bangkala'na Belawa). Berselang beberapa waktu setelah penobatannya, Baginda menempatkan Kakandanya ( I Batari) menjadi Petta Lonra. I Batari Petta Lonra menikah dengan sepupu sekalinya (juga sepupu satu kali Datu Bolong) bernama Petta Landeng, putera Sitti Hawang Datu MakkunraiyyE (saudara kandung La TEngko Petta Manciji'E).

Baginda Datu Bolong merupakan seorang Raja yang kharismatik dan banyak kisah menarik seputar masa hidupnya. Semasa kecil, penulis pernah mendengar cerita tentang Baginda Datu Bolong dari seorang Makassar bernama Bilala' Nongci (Bilal mesjid Lonra). " Iya', Mangkasa ka', ana'. Maddarupang-rupangni Arung Maraja pura utuju pakkita. NaEkia, dE'pa gaga pada karame'na Datu Bolong..." (saya adalah orang Makassar. Sudah banyak raja-raja yang pernah kulihat, namun belum ada yang menyamai keramatnya/kharismanya paras Datu Bolong).

Tersebutlah sebuah kisah yang dituturkan oleh Andi Patau' (adik kandung ayahanda penulis), pada suatu ketika Datu Bolong mendapat undangan dari Andi Mappanyukki' Sultan Ibrahim Datu Suppa' Petta Mangkau' ri Bone. Baginda diundang ke Watampone untuk menghadiri rapat (Tudang Ade') yang dihadiri kalangan Raja-Raja Se-Sulawesi Selatan untuk membicarakan perihal dukungan terhadap Proklamasi Kemerdekaan RI....

Sebagaimana dituturkan Pamanda yang waktu itu membawa "Saleppa" (Kotak Sirih) baginda Datu Bolong, bahwa  Arung Belawa Andi Patongai datang agak terlambat pada majelis itu. Oleh Pattumaling (Petugas Protokoler Istana), baginda ditempatkan agak jauh dari posisi "Ulu Tudangeng" yang ditempati Baginda ArumponE (Andi Mappanyukki'). Tiba-tiba ArumponE menyeru pada Pattumaling, : "TaniajE' akkoro monro tudangenna Andi Patongai. Akko maiyyE tudangenna..." (Bukan disitu tempatnya Andi Patongai. Mestinya disini...), kata Petta Mangkau'E tersebut sambil menunjuk tempat kosong disampingnya. Sejak itu, termahsyurlah Baginda Datu Bolong sebagai seorang raja dari sebuah negeri kecil, namun sangat diutamakan sebagai seorang Datu Maddara Matase' (Maddara Takkuu), adinda I Tenri Kawareng Arung Belawa MallinrungngE ri Pompanua. Sejak itu pulalah, Baginda diberi gelar "Andi" sebagaimana ArumponE sendiri yang menyebutnya demikian.

Perlu dikemukakan dari beberapa sumber yang salahsatunya dari Opu Tuan Abd. Halid (Almarhum) dari Bira, Bulukumba. Beliau menuturkan kepada penulis pada tahun 1999, bahwa : Asal muasal gelar "Andi" pada bangsawan Bugis dan Makassar berawal pada " I Mappanyukki Sultan Ibrahim " semasa baginda menjadi ArumponE. Pada suatu waktu, seorang berkebangsaan Perancis datang berkunjung pada Istana Beliau di Watampone. Pada perbincangan tentang seputar keadaan Sulawesi Selatan pada masa itu, orang Perancis tersebut senantiasa menyebut nama baginda ArumponE sebagai : "AndiEr Mappanyukki". Menurut juru bahasa yang menyertainya, itu berarti : "Paduka Yang Mulia Mappanyukki" atau dalam bahasa Inggris kira-kira disamakan dengan : You Are Majesty Mappanyukki". Maka setelah peristiwa itu, baginda ArumponE disebut namanya sebagai : Andi Mappanyukki, menyesuaikan dalam lidah bahasa Bugis.

Menurut keterangan dari ayahanda, bahwa sejak beberapa lama sekembalinya dari WatamponE, Baginda Datu Bolong mulailah tertulis namanya sebagai "Andi Patongai". Pada masa itu tidak seorangpun di Belawa yang memakai gelar "Andi" selain Baginda. Namun sebagaimana halnya sesuatu yang lagi "Trend", maka mulailah beberapa gelintir bangsawan mencoba-coba menggunakan gelar tersebut. Hingga pada suatu waktu, seorang putera bangsawan bernama La MappangilE disebut namanya oleh La Kube' (salah seorang abdi Datu Bolong) disebut sebagai " Andi MappangilE " dihadapan Baginda. Seketika Baginda Datu Bolong marah besar seraya berkata : " Andi MappangilE nigajE'tu ?!. SEddimi iya' uwisseng riyaseng ANDI MAPPANGILE, iyya monroE ri Sidenreng (maksudnya :Andi MappangilE Addatuang Sidenreng)" (Andi MappangilE yang mana lagi ?! Cuma satu Andi MappangilE yang saya tahu, yaitu yang tinggal di Sidenreng..). Sungguh, baginda MallinrungngE tersebut begitu ketatnya menjaga tatanan agar tidak terjadi ketimpangan sejarah dibelakang hari.

Andi Patongai Datu Doping Arung Belawa memiliki 3 (tiga) isteri sah selama hidupnya. Isteri Pertama bernama : Andi Patinrosi ArungngE Daeng Sagala (puteri La Muhamma' Tang Daeng Paliweng Petta Pangulu dengan I Tuwo ana'na La Mude SullEwatang Laomapada) mendapatkan seorang putera yang meninggal semasa bayi, bernama : Andi Bau Monri. Mereka bercerai dengan baik-baik karena Daeng Sagala tidak mau dimadu. Isteri Kedua bernama : Andi Bau' Mapparimeng Datu Madello ( Puteri Petta MorEwE, cucu DatuE La Pajung, Soppeng. Menurut Lontara' Panguruseng susunan Andi Nurdjaya Hamzah La Sumange'rukka) yang melahirkan : 1. Andi Bau' Patiroi, 2. H. Andi Bau' Singke' 3. Andi Bau Isa. Setelah  Datu Madello wafat, maka Baginda menikah lagi dengan Isteri Ketiga adalah : Andi Bossa (puteri Opu CakElE, menurut Alm. Andi BallohE') yang juga akrab dipanggil Petta Indo oleh anak-anaknya.  Dari isteri terakhir inilah, maka lahirlah : 1. Andi Bau' Sulolipu Petta KaraEngngE Camat Belawa I , 2. Andi Bau Mintang.

Menjelang pertengahan Abad XX, hubungan Belawa dan Sidenreng terkadang masih terjadi percikan-percikan api yang memicu bentrokan di daerah perbatasan sebelah utara (Soppa'E dan Lonra YasE'). Atas prakarsa Andi Batari Petta Lonra (saudara seayah Arung Belawa Datu Bolong) diikatlah jalinan kekerabatan dengan beberapa Raja-raja lokal yang berada di wilayah Sidenreng, melalui pernikahan putera puteri mereka. Tujuan politik perkawinan ini tiada lain agar tercipta perdamaian yang meredam segala bentuk pertikaian dalam jalinan kekerabatan. Maka oleh Arung Belawa, pada suatu hari diutuslah Andi Batari Petta Lonra untuk menyampaikan lamaran bagi Andi Bau Sulolipu Petta KaraEngngE ke La Pannyiwi Arung Utting untuk mendapatkan puteri beliau bernama : Andi Bua. Maka pernikahan putera puteri Belawa dan Utting terlaksana dengan meriah yang mempersatukan kembali perhubungan kedua kerajaan yang bersaudara dimasa lalu


Terima Kasih Anda sudah membaca http://ogibicara.blogspot.co.id Kerajaan-Belawa-Sejarah-Sebuah-Negeri-Di-Pesisir-Danau-Tempe-Wajo BAG. VII