Negara tak boleh lalai mensterilkan rantai distribusi vaksin dari pabrik hingga masyarakat.
pembaca, peredaran vaksin palsu sempat membuat resah masyarakat, mereka takut jika setelah di vaksin bayi mereka akan sakit, bukannya malah menjadikan mereka lebih sehat dan lebih tahan penyakit.oleh karena itu Negara tak boleh lalai mensterilkan rantai distribusi vaksin dari pabrik hingga masyarakat. Awalnya adalah liputan media tentang kematian bayi setelah divaksinasi. Direktorat Ekonomi Khusus, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, berinisiatif menelisik apa yang terjadi di balik berita tersebut.
Negara-tak-boleh-lalai-mensterilkan-rantai-distribusi-vaksin-dari-pabrik-hingga-masyarakat. |
Negara tak boleh lalai mensterilkan rantai distribusi vaksin dari pabrik hingga masyarakat |
Pendalaman selama 3 bulan, membuahkan hasil gemilang. Polisi berhasil membongkar jaringan pemalsu vaksin (21/6/2016). Vaksin yang dipalsukan adalah vaksin dasar, yang wajib diberikan untuk bayi: campak, polio, hepatitis B, tetanus, dan BCG (Bacille Calmette-Guerin).
Sebanyak 10 orang ditangkap, dan sudah dijadikan tersangka. Peran para tersangka: 5 orang sebagai produsen, 2 orang kurir, 2 orang penjual atau distributor, dan seorang pencetak label.
Pabrik vaksin terletak di Perumahan Puri Bintaro Hijau, Kecamatan Pondok Aren, Tangerang Selatan. Di rumah yang tampak tidak steril itu ditemukan berbagai jenis obat-obatan, serta alat untuk membuat vaksin mulai dari botol ampul, bahan-bahan berupa larutan yang dibuat tersangka, dan labelnya.
Pelaku membuat vaksin dengan cara yang jauh dari ketentuan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) sesuai standar Badan POM, apalagi standar WHO. Mereka secara manual mengisi ampul dengan cairan buatan sendiri yang menyerupai vaksin aslinya.
Cairan buatan pelaku tersebut berupa antibiotik gentamicin dicampur dengan cairan infus. Lalu ampul tersebut ditempeli merek dan label.
Hebatnya, menurut pengakuan para tersangka, pemalsuan ini sudah berlangsung sejak 2003 dan didistribusikan ke seluruh Indonesia. Polisi baru menemukan keberadaan produk vaksin palsu ini di tiga provinsi, di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.
Keuntungan yang didapat dari pemalsuan ini cukup tinggi. Untuk produsen mendapat keuntungan Rp25 juta setiap minggu. Sementara penjual Rp20 juta per pekan.
Polisi tengah mengembangkan penyelidikan kasus ini, menyangkut dua hal. Pertama tentang jaringan pelaku, termasuk kemungkinan keterlibatan oknum di Kementerian Kesehatan. Yang kedua adalah korban, yaitu anak-anak yang mendapat vaksinasi dari vaksin palsu ini. Apa dampaknya, akan diselidiki lebih mendalam.
Untuk sementara, para pelaku akan dijerat Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun dan denda Rp1,5 miliar dan Pasal 62 juncto Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM), cukup reaktif menanggapi temuan polisi ini. Lembaga ini mengaku kesulitan memberantas peredaran vaksin palsu. Badan POM menduga vaksin palsu beredar di puskesmas dan klinik di Jabodetabek. Lembaga ini juga memberikan tip, agar masyarakat tidak tertipu vaksin palsu.
Tip ini tentu absurd. Masyarakat, dalam soal vaksin, memang konsumen terakhir. Namun dia bukan pengambil keputusan dalam pembelian vaksin. Vaksin juga bukan obat bebas yang bisa dibeli masyarakat secara umum.
Masyarakat hanya ikut saran medis dari dokter atau pun petugas kesehatan yang hendak memberikan vaksinasi.Pemalsuan vaksin ini sesungguhnya adalah tamparan keras bagi Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM). Vaksin yang dipalsukan kebanyakan adalah paket vaksin yang dipakai dalam imunisasi wajib.
Padahal, sesuai pasal 6 ayat 2 Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No.43/2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi, penyelenggaraan imunisasi wajib, baik pengadaan vaksin, sampai distribusi, menjadi tanggung jawab pemerintah.
Pasal 13 ayat 1, menyebut Pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota bertanggung jawab dalam penyediaan logistik untuk penyelenggaraan imunisasi wajib.Ayat 2, Logistik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi vaksin, Auto Disable Syringe, safety box, emergency kit, dan dokumen pencatatan status imunisasi.Sedang Pasal 17 menjelaskan, Pemerintah bertanggung jawab tehadap pendistribusian logistik berupa vaksin, Auto Disable Syringe, safety box, dan dokumen pencatatan status imunisasi untuk penyelenggaraan imunisasi wajib.Artinya, semestinya vaksin dasar bagi bayi sebelum umur satu tahun tersebut distribusinya tertutup, yaitu pemerintah (pusat dan daerah) bertanggung jawab terhadap pengadaan yaitu membeli dari perusahaan farmasi, lalu pemerintah pula yang mendistribusikannya.
Bahkan untuk vaksin yang digunakan program imunisasi, sesuai KMK No.1015/Menkes/SK/VI/2005 tentang Pedoman Umum Pengadaan Vaksin Program Imunisasi, lebih tertutup lagi. Pendistribusian vaksin dari industri farmasi sampai ke lapangan merupakan suatu skema rantai yang tidak boleh terputus sejak dari produsen sampai ke lapangan.
Bila semua aparat kementerian kesehatan menaati rantai distribusi tertutup sesuai ketentuan, sesungguhnya tak ada peluang masuknya vaksin palsu dalam jaringan layanan kesehatan pemerintah. Mulai dari rumah sakit sampai puskemas. Badan POM pun lengah dalam pengawasan. Di Indonesia, hanya ada dua perusahaan farmasi yang memproduksi vaksin: Pertama Biofarma, BUMN pembuat vaksin terbesar di Asia Tenggara. Kedua, Sanofi, perusahaan farmasi swasta. Dua produk dari perusahaan tersebut sangat jelas jalur distribusinya.
Artinya bila sampai ada produk vaksin palsu sampai masuk ke jaringan pelayanan kesehatan yang dimiliki pemerintah, bisa diartikan pemerintah dan Badan POM telah lalai. Lalai melindungi warganya dari bahaya vaksin palsu, pun lalai mengawasi peredaran vaksin agar steril dari tangan jahil.makanya Negara tak boleh lalai mensterilkan rantai distribusi vaksin dari pabrik hingga masyarakat
(Redaksi Beritagar)